ASPEK HUKUM JENIS USAHA DAN KEGIATAN USAHA BANK SYARIAH
Oleh Desi Ratna
Wulan
Jl. Cisalatri Rt
03/08 Gg. Wira No 13 Kelurahan Cipadung
Kecamatan Cibiru
Kota Bandung 40614
Keyword: aspek hukum, jenis, kegiatan,
usaha, bank syariah
ABSTRACK
Bank
adalah lembaga yang dipecaya masyarakat untuk menyimpan dananya dengan
aman. Selain itu juga bank dipercaya
mampu memberikan pinjaman pada masyarakat yangmembutuhkan guna membuat suatu
usaha yang produktif maupun konsumtif.
Hanya saja masih banyak masyarakat yang kurang tahu bahwa bukan hanya
bank saja yang mampu melakukan kegiatan demikian. Karena bank mempunyai jenis
usaha dan kegiatan usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Adapun
jenis usaha bank menurut UU No. 21 tahun 2008, diantaranya adalah Bank Umum
Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) yang mana dalam prakteknya Bank Pembiayaan Kredit Syariah (BPRS) tidak
di perbolehkan melakukan jasa lalu lintas pembayaran yang mana Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS) memiliki keterbatasan dalam melakukan kegiatannya.
Sedangkan Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) adalah kebalikan
dari Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), yang mana dapat melakukan jasa lalu
lintas pembayaran dan bebas melakukan kegiatannya menghimpun menyalurkan dan
memberikan jasa selama tidak bertentangan dengan syariah.
Adapun
aspek hukum dari Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yaitu:
1.
Undang-Undang No. 7 tahun 1992
2.
Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1992
3.
Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
4.
PBI No.9/19/PBI/2007 Pelaksanaan prinsip
syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan
jasa bank.
5.
PBI No. 6/17/PBI/2004 Bank Perkreditan
Rakyat berdasarkan Syariah.
6.
PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
7.
PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas
peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
8.
PBI No. 15/14/PBI/2013 tentang Unit Usaha
Syariah.
9.
POJK No. 24/POJK.03/2005 Produk dan
aktivitas bank syariah dan unit usaha syariah.
A.
PENDAHULUAN
Seiring berkembangnya zaman, kini basis
syariah menjadi tren dikalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan bertambahnya
kesadaran masyarakat akan harta halal dan berkah. Begitupun dengan lembaga
keuangan seperti dengan adanya Bank Syariah. Umumnya Bank ini sama dengan Bank
Konvesional hanya saja bank syariah lebih menjalankan kegiatan usahanya pada
prinsip-prinsip syariah dan bagi hasil.
Banyak yang tau masyarakat yang kurang tahu
akan aspek hukum mengenai jenis usaha dan kegiatan usaha bank syariah. Padahal jika masyarakat mengetahui jenis usaha
bank syariah, kegiatan usahanya serta aspek hukumnya mungkin tak akan terjadi
kesalahan dalam melakukan transaksi atau yang lainnya. Sebenarnya bank syariah
itu terbagi atas Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang mana setiap lembaganya mempunyai berbagai
kegiatan dan larangan dalam menjalankan usahanya oleh karena itu adanya payung
hukum dari ketiga lembaga itu. Yang mana diharapkan masyarakat mampu menilai
juga bank sudah sesuai dengan aturan atau belum.
Berdasarkan pembahasan diatas, tulisan ini
mengkaji lebih dalam mengenai Aspek Hukum Jenis Usaha dan Kegiatan Usaha Bank
Syariah. Agar saya khususnya dan pembaca umumnya dapat mengetahui aturan atau
payung hukumnya serta bagaimana kegiatannya entah menghimpun dana atau
menyalurkan dananya. Diharapkan paper ini mampu menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai Aspek Hukum Jenis Usaha dan Kegiatan Usaha Bank Syariah.
B.
JENIS USAHA BANK
SYARIAH
Dalam praktiknya kegiatan bank dibedakan sesuai dengan
jenis bank tersebut. Seperti dalam UU No 21 tahun 2008 Bab IV Bagian Kesatu
disebutkan bahwa bank syariah terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Setiap jenis bank memiliki ciri dan tugas
tersendiri dalam melakukan kegiatannya. Bank Umum Syariah dengan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah tentunya memiliki tugas yang berbeda.[1]
a)
Bank Umum Syariah
Bank
Umum Syariah (BUS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
Menurut UU Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998, tentang perubahan atas UU No.
7 Tahun 1992 tentang perbankan bahwa Bank umum adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedang
pengertian prinsip syariah itu sendiri adalah aturan berdasarkan hukum Islam.[2]
bank
syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni
bank dengan tata cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah
Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik
yang mengandung unsur riba (spekulasi dan tipuan).[3]
b)
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) pada dasarnya sama dengan kegiatan bank umum,
hanya yang menjadi perbedaan adalah jumlah jasa bank yang dilakukan BPRS jauh
lebih sempit. BPRS dibatasi oleh berbagai persyaratan, sehingga tidak dapat
berbuat seleluasa bank umum, keterbatasan kegiatan BPRS juga dikaitkan dengan
misi pendirian BPRS itu sendiri. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah bank
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Menurut
Undang-Undang No. 7 tahun 1992, BPRS adalah lembaga keuanagan bank yang
menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau
bentuk lainnya yang dipersamakan ddengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha
BPRS yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah. Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS) tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor
perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri. Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) hanya dapat didirikan dan atau dimiliki oleh:
1.
Warga negara Indonesia dan atau badan hukum
Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara indonesia.
2.
Pemerintah daerah.
3.
Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 dan angka 2.[4]
Bentuk Badan Hukum Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) dapat berupa : Perseroan Terbatas/PT, Koperasi atau Perusahaan
Daerah (Pasal 2 PBI No. 6/17/PBI/2004). Pasal 1 UU No. 21 Tahun 2008
menyebutkan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) yaitu Bank Syari’ah yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan
Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2008 dijelaskan bahwa Perbankan Syari’ah dalam
melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syari’ah, demokrasi ekonomi, dan
prinsip kehati-hatian. Dalam struktur organisasi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) terdapat Dewan Pengawas yang bertugas memberikan nasihat dan saran serta
mengawasi kegiatan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) agar selalu sesuai
dengan syariah. [5]
Tinjauan
dan Karakteristik Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Ada
beberapa tujuan yang dikehendaki dari pendirian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) di dalam perekonomian, yaitu sebagai berikut:
§ Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah
yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.
§ Menambah
lapangan kerja, terutama ditingkat kecamatan sehingga dapat mengurangi arus
urbanisasi.
§ Membina
semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan
pendapatan perkapita menuju kualitas hidup yang memadai.
§ Untuk
mempercepat perputaran aktivitas perekonomian karena sektor real akan
bergairah.[6]
c)
Unit Usaha Syariah (UUS)
Kebijakan hukum perbankan di Indonesia
menganut system perbankan ganda (dual banking system). Dalam sistem yang
demikian bank konvensional diberi kesempatan untuk memberikan layanan syariah
dengan terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS) yang berfungsi
sebagai kantor pusat bank syariah. Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di
luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/ atau unit
syariah.
C.
KEGIATAN USAHA BANK
SYARIAH
a.
Bank
Umum Syariah (BUS)
Pasal 19 (1) UU No. 21 tahun 2008, Kegiatan
usaha Bank Umum Syariah meliputi:
§ menghimpun
dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ menghimpun
dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Menyalurkan
Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Menyalurkan
Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Menyalurkan
Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
§ Menyalurkan
Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah
berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Melakukan
pengambil alihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
§ Melakukan
usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
§ Membeli,
menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara
lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau
hawalah;
§ Membeli
surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah
dan/atau Bank Indonesia;
§ Menerima
pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan
pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
§ Melakukan
Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan
Prinsip Syariah;
§ Menyediakan
tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
§ Melakukan
fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
§ Memberikan
fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
§ Melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial
sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.[7]
Pada
Bagian Ketiga, Larangan Bagi Bank Umum Syariah Pasal 24 (1) Bank Umum Syariah
dilarang:
§ Melakukan
kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Melakukan
kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
§ Melakukan
penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b
dan huruf c; dan
§ Melakukan
kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah.
b.
Kegiatan usaha Unit Usaha Syariah (UUS)
Kegiatan Unit Usaha Syariah (UUS) meliputi:
§ Menghimpun
dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Menghimpun
dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Menyalurkan
Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Menyalurkan
Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Menyalurkan
Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
§ Menyalurkan
Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah
berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Melakukan
pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Melakukan
usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
§ Membeli
dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi
nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah,
musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
§ Membeli
surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah
dan/atau Bank Indonesia;
§ Menerima
pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan
pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
§ Menyediakan
tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
§ Memberikan
fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
§ Melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial
sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.[8]
Pada
Bagian Ketiga, Larangan Bagi Unit Usaha Syariah (UUS), Pasal 24 (2) UUS dilarang:
§ Melakukan
kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Melakukan
kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
§ Melakukan
penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c;
dan
§ Melakukan
kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah.
c.
Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Kegiatan usaha BPR Syari’ah secara teknis
operasional berkaitan dengan produk-produknya mendasarkan pada Pasal 2 dan
Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip Syari’ah dalam
kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank
Syari’ah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008. Lebih teknis
lagi mengacu SEBI No. 10/14/DPbS Jakarta, 17 Maret 2008 perihal pelaksanaan
prinsip dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan
jasa Bank Syari’ah.[9]
Kegiatan
usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) diatur dalam Pasal 21 UU Perbankan
Syariah, yaitu meliputi :
a.
Menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk:
§ Simpanan
berupa tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, dan
§ Investasi
berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
b.
Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam
bentuk:
§ Pembiayaan
bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah;
§ Pembiayaan
berdasarkan akad murabahah, salam, atau istishna; Pembiayaan berdasarkan akad
qardh;
§ Pembiayaan
penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad
ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bitamlik; dan
§ Pengambil
alihan utang berdasarkan akad hawalah.
c.
Menempatkan dana pada bank syariah lain
dalam bentuk titipan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi berdasarkan akad mudharabah
dan/atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
d.
Memindahkan uang, baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional dan UUS.
e.
Menyediakan produk atau melakukan kegiatan
usaha bank syariah lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah berdasarkan
persetujuan Bank Indonesia. [10]
Pada
Pasal 25, UU No. 21 tahun 2008. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang
melakukan beberapa kegiatan diantaranya:
§ Melakukan
kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
§ Menerima
Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
§ Melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin
Bank Indonesia;
§ Melakukan
kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah;
§ Melakukan
penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi
kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan
§ Melakukan
usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU No. 21
tahun 2008.[11]
D. LANDASAN HUKUM POSITIF MENGENAI BUS,
UUS DAN BPRS
1.
Undang-undang No.7 Tahun 1992
Sejak diberlakukannya UU No.7 tahun 1992 yang
memosisikan bank Syariah sebagai bank umum dan bank perkreditan rakyat,
memberikan angin segar kepada sebagian umat muslim yang anti-riba, yang
ditandai dengan mulai beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal
1 Mei 1992. Meskipun UU No. 7 Tahun 1992 tersebut tidak secara eksplisit
menyebutkan pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya,
kebebasan yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah
memberikan pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka
atas maksud dan kandungan peraturan tersebut.
2.
Undang-undang No.10 Tahun 1998
UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang
No.7 Tahun 1992 hadir untuk memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah
untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Arah kebijakan regulasi ini
dimaksudkan agar ada peningkatan peranan bank nasional sesuai fungsinya dalam
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan prioritas koperasi, pengusaha
kecil, dan menengah serta seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Dalam
UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan
bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk
pemberian kesempatan kepada Bank Umum Konvensional untuk membuka kantor
cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Prinsip
Syariah.
3.
Undang-undang No.23 Tahun 2003
UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah
menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat aturan dan
fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran operasional
bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank system.
4.
Undang-undang No.21 Tahun 2008
Beberapa
aspek penting dalam UU No.21 Tahun 2008:
a.
Pertama, adanya kewajiban mencantumkan kata
“syariah” bagi bank syariah, kecuali bagi bank-bank syariah yang telah beroperasi
sebelum berlakunya UU No.21 Tahun 2008 (pasal 5 no.4). Bagi bank umum
konvensional (BUK) yang memiliki unit usaha syariah (UUS) diwajibkan
mencantumkan nama syariah setelah nama bank (pasal 5 no.5).
b.
Kedua, satu-satunya pemegang fatwa syariah
adalah MUI. Karena fatwa MUI harus diterjemahkan menjadi produk
perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Bank Indonesia / PBI), dalam rangka
penyusunan PBI, BI membentuk komite perbankan syariah yang beranggotakan
unsur-unsur dari BI, Departemen agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi
yang berimbang dan memiliki keahlian di bidang syariah (pasal 26).
5.
Beberapa Peraturan Bank Indonesia mengenai
Perbankan syariah
a.
PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan
prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta
pelayanan jasa bank syariah.
b.
PBI No. 6/17/PBI/2004 Bank Perkreditan
Rakyat berdasarkan Syariah.
c.
PBI No. 15/14/PBI/2013 tentang Unit Usaha
Syariah.
d.
PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas
peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
e.
PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang
melaksnakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.[12]
E. PENUTUP
Adapun
jenis usaha bank menurut UU No. 21 tahun 2008, diantaranya adalah Bank Umum
Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) yang mana dalam prakteknya Bank Pembiayaan Kredit Syariah (BPRS) tidak
di perbolehkan melakukan jasa lalu lintas pembayaran yang mana Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS) memiliki keterbatasan dalam melakukan kegiatannya.
Sedangkan Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) adalah kebalikan
dari Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), yang mana dapat melakukan jasa lalu
lintas pembayaran dan bebas melakukan kegiatannya menghimpun menyalurkan dan
memberikan jasa selama tidak bertentangan dengan syariah.
Adapun
aspek hukum dari Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yaitu:
1.
Undang-Undang No. 7 tahun 1992
2.
Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1992
3.
Undang-undang No.21 Tahun 2008
4.
PBI No.9/19/PBI/2007 Pelaksanaan prinsip
syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan
jasa bank.
5.
PBI No. 6/17/PBI/2004 Bank Perkreditan
Rakyat berdasarkan Syariah.
6.
PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
7.
PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas
peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
8.
PBI No. 15/14/PBI/2013 tentang Unit Usaha
Syariah.
9.
POJK No. 24/POJK.03/2005 Produk dan
aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
Mengenai Perbankan Syariah
Pembiayaan Murabahah di BPRS Semarang.
Dalam http://librarywalisongo.ac.id
diakses tanggal 18 November 2017
Ahmad
Syakir. Jurnal Ekonomi Islam, dalam http://Jurnal/ekonomi islam.pdf,
diakses tanggal 17 November 2017.
Gita
Listya Jianti. 2015. Jurnal Efisiensi
Bank Umum dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Semarang. Diakses tanggal 17
November 2017.
C.S.T
Kamsil, dkk. 2002. Pokok-pokok
Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad
Firdaus NH, dkk. 2005. Konsep &
Implentasi Bank Syariah. Jakarta: Renaisan.
[2] C.S.T Kamsil, dkk,
Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 311-313.
[4] Gita Listya
Jianti, Jurnal Efisiensi Bank Umum dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Semarang, 2015, hal 12 diakses tanggal 17
November 2017.
[5] Ahmad Syakir, Jurnal Ekonomi Islam, dalam http://Jurnal/ekonomi islam.pdf,
diakses tanggal 17 November 2017.
[9] Pembiayaan Murabahah di BPRS Semarang,
dalam http://librarywalisongo.ac.id
diakses tanggal 18 November 2017.
Komentar
Posting Komentar